AKU DAN BAYANGKU II #FIKSI

Air mataku menetes masuk kedalam kopiku yang sedang aku aduk.
Takku pedulikan. 

Aku aduk bersamanya. 



Aku Melangkah menuju ruang tamu yang aku anggap sebagai ruang makan juga. 
Aku selalu makan di atas sofa ini.
Rumah yang aku tempati sekarang memang tak cukup besar, tapi cukup nyaman bagiku. 
Aku duduk, dengan segala kelengkapan sarapanku di atas meja. 
Kopi dan biskuit kesukaanku.
Sunguh nikmat. 
Dulu, mana pernah aku memakan ini?! 

Tok tok tok. 

"Sampah bu ..." 

Panggil seorang tukang dari luar rumah.
Kata yang sederhana namun sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.
Yah, ini hari minggu dan waktunya membayar iuran sampah. 
Aku mengambil uang Rp. 20.000 dari dompetku ditengah jajaran uang Rp. 100.000 yang tersusun rapih. 

"Ini pak," 

"Waduh 20.000 ga ada kembaliannya bu." 

"Ga apa-apa pak, buat anak bapak saja." 

"Makasih banyak bu." 

Tukang itu tersenyum lebar. 
Iuran sampah hanya sepuluh ribu, sisanya aku ikhlaskan.
Hanya sepuluh ribu, tapi sudah bisa membeli senyuman bahagianya ci bapak tukang sampah. 
Aku senang. 
Semoga anaknya juga senang.
Tidak sepereti aku.

Dulu ... 
Ayah tiriku jarang pulang.
Seminggu sekali itu paling cepat. 
Entah dia kemana entah ia kerja apa. 
Aku tak tahu. 
Yang aku tahu. 
Ketika ia pulang membawa beberapa lembar uang lalu esoknya ia kembali pergi dan jarang pulang lagi. 
Ditengah-tengah masa dikala ia tak pulang, ibu berusaha keras untuk membuat uang itu menjadi cukup, sampai ayah tiriku kembali yang entah kapan. 
Sering dikala ibu sudah kehabisan uang, ia masih belum kembali. 
Dan kami, kelaparan. 
Selalu, seperti itu. 

Hmmm air mataku kembali menetes ... 
Kini membasahi bajuku. 
Sungguh, terbayang wajah luguku, wajah tak berdosaku yang harus menelan berbagai kepenatan waktu itu. 
Bosan dan tak bahagia. 
Itu. 

Ingin rasanya saat ini aku pergi ke jaman dulu, melihat diriku yang sedang duduk di trotoar itu, lalu aku peluk diri kecilku dengan erat. 
Erat. 
   Erat. 
     Erat. 

Aku kembali ke sofa. 
Roti dan kopi tak aku makan lagi. 
Nafsu makanku sudah hilang. 
Lambungku sudah lumayan tak bergeliat lagi. 
Sarapanku sudah cukup. 

Kling ... 
Nada sms masuk dari hp ku. 

-Mamah- 

Ini pesan darinya. 
Sebelum membuka pesan itu aku menarik nafas panjang terlebih dahulu.
Hmmm, siap? Aku mengumpulkan semua tenaga batinku.
Ayo kita buka. 

"Mamah mah embung nanaun deui ngan hayang kabeh rukun!" (mamah tidak mau apa-apa hanya ingin semua rukun)
Kutipan sepenggal ocehan ibuku. 
Hanya sepenggal.
Seluruh pesannya cukup panjang.
3 laman sms.

Sakit. 
Sungguh sakit. 
Uraiannya menusuk hatiku. 
Ribuan kata tajam dari orang lain, tak akan sesakit beberapa kata dari ibuku. 
Karena ia ibuku. 
Setiap katanya, aku fikirkan, aku pertimbangkan.

Ia sedang marah kepadaku, karena aku belum bisa memaafkan ayah dan kakak-kakakku. 
Yang selama ini sudah menelantarkan kami. 
Mereka sibuk dengan kehidupan dan keegoisan mereka masing-masing. 
Tanpa memikirkan kami. 
Aku, aku yang tengah dewasa kini, selama bertahun-tahun menopang hidup ibu dan adik-adikku.
Aku sudah tak menganggap mereka ada. 
Mereka ayah dan kakak-kakakku. 
Ayah kandung! 
Ayah tiri lebih brengsek lagi.
Ia pergi meninggalkan bayi yang sekarang aku panggil adik.
Sudahlah, aku anggap mereka orang idiot yang harus aku maklumi. 
Dan sekarang ibu menekanku untuk memaafkan apapun kesalahan mereka. 

FIUH !!! aku menarik nafas panjang, sepanjang panjangnya yang aku bisa.

Ini pesan ke dua puluh satu yang ibu kirim sejak beberapa hari yang lalu setelah berkali-kali teleponnya tak aku jawab. 

Ini sulit untuk diuraikan, ini sulit untuk dikatakan. 
Ketika mereka berkecimpung dengan diri mereka sendiri, memikirkan diri mereka sendiri tanpa memikirkan ibu.
Akulah yang menanggung semua keluh kesah ibu, merangkul adik-adikku serta berkeringat deras untuk bertahan agar kami tetap bisa hidup. 
Dengan segala keterbatasanku, aku tetap berusaha untuk mampu. 
Aku perempuan, dan aku berusaha untuk ibu dan adik-adikku.

Lalu mereka? 
Kemana mereka? 
Entahlah ... 

Seperti saat ini, sewaktu kecilpun aku tak ingat mereka dimana. 
Aku tak mau ingat karena itupun cukup menyakitkan. 

Dulu ...
Sempat pipiku bengkak.
Aku ditampar sampai pipiku melendung bak balon yang diolesi minyak dan mengkilap.
Hidungku berdarah karena tamparan yang sama. Mimisan.
Tamparan keras yang tak henti-hentinya aku terima dari kakak pertamaku karena aku sulit mengingat hafalan ngaji ketika aku duduk di bangku kelas 3 SD.
Tapi haruskah aku ditampar? 
Dengkulku tak kalah sakit, karena banyak ia cubit dengan kukunya yang tajam. 
Pinggangku juga lebam-lebam karena menerima jepitan-jepitan kecil dari lipatan jarinya. 
Dan itu semua sering aku terima.

Sakit aku sakit sakit dan sakit. 
Lagi-lagi aku ingin memeluk diriku sendiri. 
Memeluk diri kecilku ketika itu.

Ketika aku dewasa.
Penyiksaan itu ternyata belumlah usai.
Hal yang sama aku terima dalam bentuk yang lain.

"aku gak bisa kerumah kamu lagi. aku gak bisa!"

"apa? kenapa ... ?"

"Kakakmu menghadangku dan teman-temanku dijalan. Ia mengatakan hal yang bukan-bukan mengajak kami adu jotos dan melarangku untuk mendekati kamu lagi."

Melarangku ...
Untuk mendekati kamu lagi !
Mendekati
    Kamu 
       Lagi ...


Terngiang ... 
Semua hening, suara kodok yang bernyanyi silih berganti diluar sana tak terdengar nyaring lagi. Suara jangkrik, suara cicak, semua tak bisa kudengar. Hanya ngiangan itu yang menggema dipikiran ini. 

Aku menutup teleponnya, aku tak marah. Aku hanya bisa diam. Layaknya dulu ketika kakakku memukuliku tanpa alasan yang jelas, aku hanya bisa diam layaknya saat ini. Aku DIAM. 

Aku malu, aku memutuskan untuk meninggalkan orang yang sudah aku bina selama dua tahun dan berencana menjadi imamku. Calon suamiku.
Cicin yang ia beri hasil ukirannya sendiri, aku kembalikan

Aku menarik nafas, menutup rentetan pesan dari ibuku. Aku masuk kedalam kamar merebahkan tubuh ini, berharap bisa relaks namun gagal. 
Semua tergambar kembali. Badanku tiba-tiba mengilu, merinding, akibat jetutan hati yang perih. Aku berbaring sambil memeluk lututku. Semua kembali tergambar. 

"Apa yang dia inginkan bu?" 

"Dia ingin uangnya kembali." 

"Ya sudah, kita jual motor saja, lalu berikan uang itu kepadanya. Biar dia bisa pergi dari rumah." 

"Iya teh, mamah setuju. Asalkan dia bisa pergi dari rumah dan tidak menindas kami lagi." Celoteh ibuku dari sebrang kota sana.

Aku pulang dari luarkota tempat aku bekerja. Setelahnya, aku dan ibu berjuang menawarkan motor kami ke berbagai showroom motor untuk menjual motor butut yang aku beli bekas setahun yang lalu. Tak ada. Tak ada yang mau. Panas dan lapar kami rasakan. Alhasil aku jual murah satu-satunya benda berharga kami kepada sahabatku, hanya dua juta. Hanya itu. 
Uang itu kami berikan kepada ci otak udang, untuk membeli kebebasan kami. Agar dia enyah dari rumah kontrakan yang telah ia beri kepada kami. Lunas! 

Itu ... Aku ingat. Terpahat keras di otakku.

Lainnya, pencundang lainnya. Kakakku yang lain. 
Ia nakal! Nakal sekali, tak berguna dan pemalas. 
Aku adiknya. Tapi selama aku bisa aku ikut menopang hidupnya bahkan berusaha untuk mengabulkan apapun yang ia minta termasuk motor besar yang ia impi-impikan. Aku peras keringatku hingga kudapatkan apa yg dia inginkan dengan harapan dia bisa bekerja seperti yg dia janjikan. 

"Aku mau kerja kalo ada motor gede. Aku janji!" kalimat itu yang selalu aku ingat, aku pegang dan aku andalkan bahwa itu adalah benar. 
Setelah apa yang dia harapkan terwujud melalui kerja kerasaku. Motor tersebut ia pakai ugal-ugalan, dan jeger!!!

Ia menabrak orang lalu kabur ke kota lain. Ia pergi memikirkan keselamatan dirinya sendiri tanpa memikirkan betapa kecewanya aku dan ibu.

Aku memanglah bodoh, aku masih berharap kepadanya, bahwa setelah satu tahun penuh aku parabi dia dipenjara karena kasus narkoba. Setelah keluar dan terlihat "baik" aku usahakan apa yg dia inginkan, motor besar itu. 

Tapi semua ia jawab dengan "kabur" tak bertanggung jawab. Aku maafkan? 
Ya aku maafkan. 

Lain lainnya, ayahku ... 
Tak usah bahas panjang lebar, meninggalkan anak-anaknya yg masih kecil serta istri yg ditagih tunggakan kontrakan selama 3 bln. Apakah itu baik? Itu bejad. Itu tak bertanggung jawab. Hingga kini. Aku tak mengakuinya sebagai ayah terlebih keyakinan agamanya yang bersebrangan denganku. Sempurna. 

Semua sulit untuk aku LUPAKAN. Aku sudah memaafkan tapi tak bisa aku lupa. Kini aku mendapat ketertekanan kembali. 

Ibuku mewajibkan aku untuk memaafkan mereka yang telah menyakiti kami berdua. Dia ibu, tentulah mudah memaafkan anak-anaknya. 
Di beri tai dimuka saja yang namanya ibu, pastilah akan tetap memaafkan anak-anaknya, apalagi melihat mereka yang pura-pura menyesal dan bertaubat layaknya kakak-kakakku saat ini. Mereka memohon untuk dimaafkan dan diterima kembali ditengah kehangatan keluarga kami yang telah mereka campakkan.

Ibuku percaya! Tapi aku tidak! 
Aku yakin semua akan akan terulang lagi, sama seperti beberapa kali yang lalu. Mereka menyesal, berlaku baik namun tak lama sifat aneh dan tak pedulinya muncul lagi, dan lagi-lagi menyakiti ibu. Ibu yang aku agug-agungkan, aku rawat hatinya namun mereka selalu menginjak-injaknya dengan mudah.
Sikap-sikap mereka yang irasional itu akan terjadi lagi kini. Aku yakin itu, dan terbukti!

Dua minggu dari judul "perdamaian keluarga" antara kakak-kakakku dan ibu. Aku mendengar ibu menampar kakak pertamaku, lalu kakak kabur dari rumah. 

Hmmm, aku malas membahasnya. 
Haruskah aku berkata "apaku bilang!" 

Tapi beberapa hari kemudian terdengar mereka telah rujuk kembali. 
Hmmmm aku hanya bisa menarik nafas. Layaknya setrika yang digosok secara berulang, hingga kini hatiku sudah gosong dan mati rasa.

Aku lelah lelah lelah ... 
Hanya itu !
Aku lelah untuk harus terus memaklumi mereka, lelah untuk menambal bolong-bolongnya hati ini karena mereka. Kini suaraku sudah habis, tenagaku sudah kosong. Aku tak punya kekuatan lagi untuk menghadapi mereka, bergumam, bergigi gigi ria, argumen. Sosoan damai yang tak akan lama. Hahhh aku lelah. Demi Tuhan aku lelah. 

Terlebih ketika ibu menuntutku untuk aku yang memiliki hati pincang ini, harus tetap berjalan seperti apa yg ibu minta yaitu untuk memaafkan mereka. LAGI!

Aku marah kepada mereka karena mereka telah menyakitimu bu, aku benci kepada mereka karena mereka selalu menyakiti KITA, aku lelah. 

Sekarang ibu terbeli hatinya oleh lidah kosong mereka, lalu berbalik marah kepadaku karena sikapku yang baru kali ini marah. 
Bisa nian kau berbalik bu, setelah aku yang selama ini mendampingimu. Tanpa rasa lelah. Membawa tas laptop yang aku selendangkan dan berlari mengejar bis yang menuju luar kota untuk bekerja untukmu dan keluarga, bukannya kau bilang itu menyedihkan? Bukannya kau bilang kau menangis dipinggir jalan melihat aku dari belakang? 

Lalu ... Kemana rasa itu? Kemana kasih itu ... Seketika hilang hanya karena terbuai oleh janji manis mereka yang tak kunjung terkabul dan dihiasi ocehan-ocehan yang berasa manis? Hanya berasa tanpa rasa yang nyata!
Kemanaaaaa ??? 

Kini aku dibuang. Tak ia anggap anak. 
Karena itu! 
Karena aku marah! 
Karena hakku yang aku pakai untuk marah!
Seharusnya ini dari dulu. Tapi baru kali ini amarah ini aku gunakan karena sudah gosonglah hatiku ini. 

Bantalku sudah banjir menyerap aungan jerit tangisku. 
Tangisku 
   Tangisku. 
      Hujan ...



Diberdayakan oleh Blogger.