AKU DAN BAYANGKU #FIKSI

Diluar hujan. 
Kecil. Hanya rintik-rintik. 
Aku disini. 
Dikamarku. 
Tadi lampu aku matikan. 
Sekarang gelap. 
Sinar lampu dari ruangan tengah, menyeluksuk masuk dari pintu yang tak ku tutup rapat. 
Hanya itu sumber cahaya dikamarku saat ini. 
Sehingga aku masih bisa melihat jam dinding yang menunjukan pukul satu lebih, malam tentunya karena diluar gelap pekat. 

Aku terbangun dari tidurku. 
Kini aku tidak bisa tidur. 
Aku terbangun karena mimpi burukku. 
Aku mengingat-ingat akan apa yang aku lihat dalam gelap mataku tadi. 



Jalanan ... 
Mobil berlalu lalang ... 
Aku diam dipinggir trotoar, duduk diatas samping pot bungga besar tanaman kota, sambil menggendong adikkku di atas pangkuan.
Aku bukan gembel atau anak pengamen. Bukan. Aku anak biasa ... aku memiliki ibu dirumah, memiliki ayah yang katanya sedang bekerja. Ya Ayah, aku panggil ia begitu ... Tanpa aku tempeli embel-embel kata tiri. Walau kenyataannya begitu ... 


Hilang ... ! 
Bayangan tadi hilang ... 
Tertutup oleh pejaman mataku pekat ... 
Mengoyakan air yang sudah berkaca dimataku. 
Menetes. Satu tetes. Hanya satu tetes. 
Aku berusaha menghilangkan bayangan-bayangan tadi. 
Bayangan masa kecilku, ya itu bukan mimpi. Itu memori otakku yang terurai dikala aku memejamkan mata. 

Aku ingat ... 

Kala itu, tinggi tubuhku tak lebih dari 105 cm. 
Aku duduk menggendong adikku yg lucu berusia 1 tahun, di samping trotoar, di atas pot bunga besar tanaman kota.
Aku duduk, hanya ingin melihat lalu lalangnya mobil dan menghirup udara. 
Hanya itu. 
Bersama adikku yang sepertinya sedang merasakan hal yang sama. 
Sumpek dan suntuk. 

Sekian jam aku duduk di situ. 
Melihat angkot-angkot yang menurun naikan penumpangnya yang entah mau kemana dan dari mana.
Mobil-mobil mewah tak kalah ramainya. 
Ia gagah berlalu lalang di hadapanku, disertai senyuman tawa yang hangat dari rombongan keluarga yang ada dalam rangkaian baja besi itu. 
Indah! Pikirku. Tapi itu mereka. 
Bukan aku. 
Sedih? 
Tentulah sedih. 

"Baik dhe, sudah cukup untuk hari ini. Ayo pulang" 
Seolah-olah aku berbicara dengan adikku walau nyatanya itu tergumam dalam hatiku sendiri dan anggukanku untuk hatiku juga. 

Ku gendong adikku yang lucu, melangkah menuju gang sempit selebar satu meter. 
Kecil sekali.
Motorpun tak cukup untuk masuk ke gang ini. 
Aku berjalan. 
Kaki kecilku melangkah, menyusuri jalanan semennya. 
200 meter dari ujung jalanan tadi, akhirnya aku sampai di rumahku. 
Rumah Pak Haji Arsad, bukan rumahku. 
Ia juragan kontrakan di daerah sini. 

Ya! 

ini rumah sewaan. 
Ukurannya mungil, hanya 4x4 meter. 
Pintunya sudah lusuh, jendela nya kecil dan tak pernah dibuka. 
Kunci engselnya sudah berkarat. Jika dibuka pastilah sulit untuk dikuncikan lagi. 
Walau rumah ini kecil, tapi ia tetap memiliki teras. Lebarnya dua kotak lantai ukuran 30 cm, berarti lebar terasku tak lebih dr 65cm, ditambah lipatan semen tipis yang menyela diantaranya. 

Aku membuka pintu. Tak dikunci. 
Adikku aku turunkan. 
Ia merangkak menghampiri ibuku yang tengah tidur di atas kasur lipat setebal 10 cm. 
Merasakan sentuhannya, ibu langsung meraih adiku, lalu ia beri asi sambil berbalik arah dari posisi semula. 
Adikku dalam posisi nyamannya kini. 
Aku masih berdiri di depan pintu. 
Melihat sekeliling. 
Kasur, tikar, lemari, ember cucian, rak piring kecil, kompor, katel, panci, bumbu dapur, papan cucian, semua ada di satu ruangan. 
Hanya saja ibu tata diberbagai sudut kelompoknya masing-masing. 
Aroma ruangan ini sungguh tak karuan. 
Makanya aku senang berada di jalanan sana, walau aroma jalanan, debu dan bau bensin tapi aromanya satu dan konsisten. 

Kalo di ruangan ini, aroma yg keluar tergantung dari acara yang sedang berjalan. 
Jika ibuku sedang masak, aroma ruangan ini berbau masakan ibu. 
Semuanya! Sampai kasur dan bantalpun bau masakan ibu. 
Jika adikku sedang buang air, semua jadi berbau aroma adikku, bau ee. 
Semua! Sampai piring dan gelas pun begitu. 
Jika kami bangun tidur, semua berasa jadi bau iler, dari kasur, bantal, selimut guling kompor piring. Semua! Bau Iler. 

Hmmm aku masih berdiri di depan pintu. 
Sebenarnya aku tak mau masuk. 
Aku masih ingin menghirup udara segar di luar. Di depan pintu! 
Merasakan pintu masih terbuka beberapa lama, sambil tidur ibu bergumam, "masuk, tutup pintunya." 
Dengan berat akupun masuk. 
Tinggi daun pintu hampir sama dengan tinggi badanku, namun aku lebih tinggi 5 cm darinya. 
Duduk. 
Aku duduk di samping kasur di mana ibu dan adiku berbaring. 
Aku diam, aku tak melakukan apa-apa. 
Memang apa yang bisa aku lakukan? 
Disini tak ada tivi. 
Hanya radio butut yang aku tak tau bagaimana cara menyalakannya. 
Mendengar apa? 
Musik, aku tak mengerti musik apapun. 
Aku masih diam. 
Diam, melihat ke sekeliling. 
Diam dan bernafas.
Diam.
Diam.
Diam. 
Tuhan, ini sungguh membosankan. 

Aku mengambil bukuku. 
Buku PR ku. 
Buku PR ku tiga hari yang lalu, yang sudah aku selesaikan tiga hari yang lalu juga. 
Aku melihatnya kembali. 
Mengulang membacanya.
Jawaban semula aku hupus lalu aku isi kembali dengan tulisan yang lebih rapih.
Ini penebalan yang aku lakukan untuk ke lima kalinya.
Sejak dua hari yang lalu aku melakukan hal yang sama. 
Menghupus lalu menulisnya kembali. 
Sudah tiga hari ini aku tak masuk sekolah karena tak punya ongkos untuk naik angkot dan bekal. 
PR ku ini mungkin sudah kadaluarsa. 
Tapi bagiku ini masih baru. 
Karena ibu guru belum melihat dan memeriksanya. 
Semua sudah aku tulis ulang. 
Hooooam aku mulai mengantuk ... 
Lalu ... 
Mataku terpejam ... 
Aku tertidur disamping rak piring ibu. 

Terbangun, aku mengangkat tubuhku. 
Mengusap air mata dan menggaruk kepala. 
Kakiku turun dari ranjang. 
Berjalan menuju kamar mandi.
Kencing. 
Lalu menggosok gigi dengan pasta gigi yang ia bilang memutihkan, menguatkan dan lain sebagainya. Lebih baik.
Dulu, pasta gigi yang tidak ada mereknya saja masih seringkali kosong menghiasi tempat alat mandiku. Dan kamar mandi ini lebih baik dari kamar mandi aku dahulu. 

Ia berada disamping rumah. 
Jika aku mau ke kamar mandi, aku harus tahu jam dan jadwalnya. 
Sudahlah pasti di jam-jam pagi, kamar mandi tidak tersedia untukku. Untuk kami! 
Para pengontrak lain yg sudah lebih dulu dan sudah bertahun-tahun di sini sudah mencarter kamar mandi pada jam-jam tertentu. Yaitu pagi dan sore. 
Maka, dipagi hari aku harus menahan kencingku selama berjam-jam sampai kamar mandi itu kosong. 

Aku mencuci sikat gigiku, ia penuh busa bernoda merah dari luka gusiku. 
Aku menyimpannya dan berganti mengambil sabun pencuci muka, lalu aku selesaikan semua ritual bangun pagi di kamar mandi. 

Setelah segar, aku hendak sarapan.
Ada roti dan white koffe di meja dapurku. 
Aku menyedunya.
Ini sarapan, dan ini lebih baik.
Kalo ritual sarapan aku dulu adalah omelan. 

Ibu menyuruhku membeli beberapa gorengan ia berpesan, "ingat kamu harus bisa milih, gorengan mana sisa kemarin dan gorengan mana yang dibuat hari ini!".
Aku anak bawang yang baru tahu bahwa 5x5 adalah 25, dan kini harus bisa membedakan mana gorengan lama dan mana gorengan baru. 
Setelah sampai dihadapan warung penjual gorengan, aku menatap jajaran gorengan dengan seksama.
Mana? 
Apanya yang beda? 
Semua terlihat sama bagiku. 
Apanya yang beda? 
Bagaimana aku bisa tahu bahwa itu digoreng kemarin atau tadi?! 
Apa aku harus menanyakan langsung kepada gorengannya? 
"Hey kamu! Diadoni dan digoreng kapan? Tanggal berapa? Kemarin atau sekarang? Jawab!" 
Benarkah aku harus menanyakan hal itu kepada mereka? 

Ya aku sudah tanyakan itu!  
Lalu jawaban mereka semua sama. 
Kami dibuat hari ini, sama seperti jawaban ibu warung. 
"Ini semua baru neng, ga usah dipelongoin gitu. Ayo cepet mau pilih yang mana? Beli seribu-eun saja lama bener milihnya." 
Tajam sekali lidah ibu itu. 
Tanpa pikir panjang, aku langsung memilih sebisa yang aku tahu. 
Gorengan sebelah kanan, 
kiri, 
kirinya lagi, 
tenggara 
dan tengah. 
Semua berjumlah lima. 
Sudah! 
Aku kembali kerumah, dengan jantung yang berdebar-debar. 
Semoga aku tak salah pilih. 

Ini mah. Ibu membuka bungkusan. 
Darrr !!! 
Dia marah.
"ini gorengan kemarin !!! Liat dong item gini! Kamu tuu bego! Masa ga bisa bedain?! Nihhh gorengan yang baru cuma ini nih!" 
Itu adalah gorengan yang aku pilih dari sisi tenggara. 
Penjual menyimpan gorengan yang baru disamping-samping wadah. 
Yang lama ia pasang di font. 
Strateginya tepat.
Buktinya gorengan yang kemarinlah yang aku pilih. 
Ibu masih marah. 
Ia melempar gorengan-gorengan itu ke sudut ruangan. 
"Teu kapake, ker euweuh duit deui teh, sok aya weh dodojana" (tidak terpakai! sudah tidak ada uang, ada-ada saja cobaannya.)
SAKIT!
Sakit Sekali! 
Tapi aku hanya diam. 
Ta berani berkata apapun. 
Menunduk dengan wajah lusuhku sambil menahan kencing. 
Karena dari pagi aku belum ke air. 
Kamar mandi masih penuh sampai sekarang.



BERSAMBUNG ...

Diberdayakan oleh Blogger.